Usaha Mie Goreng Ternyata Bisa Beromset Jutaan Perhari

Ketekunan, semangat tak pernah menyerah dan keberuntungan di saat yang tepat. Itulah kunci sukses H. Sudarsono, pemilik warung Mie Goreng Airlangga. Tak seorangpun menyangka, mantan penjual bakso keliling itu kini bisa memiliki aset bernilai miliaran rupiah hanya dengan keahlian mengolah masakan.

NAMA Mie Goreng Airlangga atau Mie Goreng Pak Yanto, rasanya sudah cukup familiar bagi masyarakat Kota Mataram. Mie Goreng yang terletak di Jalan Airlangga, Mataram itu memang selalu ramai oleh pembeli. Tapi banyak yang tak mengira, dulunya, Mie Goreng yang terkenal itu hanya sebuah usaha kecil.
Adalah Sudarsono (49) yang berada di balik sukses itu. Mie Goreng Airlangga pada awalnya hanya sebuah usaha kaki lima. Tangan dinginnyalah yang berhasil menyulap warung mie goreng kaki lima di emperan Jalan Airlangga itu menjadi sebuah rumah makan yang besar beromset jutaan rupiah setiap hari.

Sudarsono datang ke NTB di tahun 1980. Ia datang tanpa ada modal sepeserpun di kantongnya. Usaha lain tertutup baginya. Maklum, ia hanya tamatan SD. Memberanikan diri, pria kelahiran Solo ini meminjam uang dari keluarganya. Modal itu ia gunakan mengontrak rumah dan mulai berjualan bakso keliling.
Empat tahun berdagang bakso keliling, Sudarsono mulai jenuh. Ia lalu berpikir memajukan usaha. Dengan modal Rp 100 ribu, ia membuka lapak mie goreng. “Saya mulai jualan menetap di situ,” ujarnya sembari menunjuk pinggiran Jalan Airlangga. Meski sempat keteteran di awal, usaha mie goreng Sudarsono terus berkembang.

Keuntungan dari hasil jualannya ia tabung. Secara bertahap, ia membeli tanah di dekat lokasi ia berjualan, atau lokasi yang kini menjadi tempat mie goreng airlangga. Beberapa tahun berjualan, ia usahanya sudah pindah ke kios kecil-kecilan. Lokasinya masih sama, namun kini lebih apik karena sudah lebih menyerupai warung.

Tak butuh waktu lama bagi Sudarsono untuk terus mengembangkan usahanya. Dari tahun 1988 hingga 1995 tempat usahanya terus diperluas. Pada 2002, ia telah memiliki lahan usaha seluas 3 are. Di lahan itulah ia kini membangun tempat usaha yang cukup megah.

Omset dagangan Sudarsono kini berada di kisaran Rp 1,5 juta per hari. Nilai asetnya diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Ia juga sanggup menggaji lima orang karyawan. Dua tahun lalu, ia baru saja menunaikan ibadah haji. Anaknya bisa ia sekolahkan hingga ke Jakarta. “Kemarin dia belajar di Indonesian Music Institute,” ujarnya ketika ditanya soal anaknya.

Secara materi, Sudarsono boleh dibilang telah meraih segalanya. Ia memiliki rumah, mobil, usaha yang mapan dan keluarga yang lengkap. Namun, pria yang telah memiliki satu cucu ini tidak memperolehnya dengan mudah.

Menurut Sudarsono, keberhasilannya ia raih dengan ketekunannya berjualan. “Menurut saya, kuncinya memang ketekunan,” ujar Sudarsono membeberkan rahasia kesuksesannya kepada Suara NTB yang menemuinya, Kamis (16/7) lalu.

Namun, ditilik dari liku-likunya mengembangkan usaha, ia juga memiliki semangat pantang menyerah dan sedikit keberuntungan di saat yang tepat. Sudarsono bukannya tidak pernah gagal. Sebelum ke NTB, ia pernah berdagang bakso di Kendari. Sebenarnya, ia telah memiliki usaha yang mapan di sana. Namun, ia terjebak kebiasaan berjudi. Usahanya tandas.
Namun sejak pindah ke NTB, ia berhasil bangkit. Hal ini menunjukkan Sudarsono memang pribadi yang pantang menyerah.

Ketika memulai berdagang menetap, ia juga hampir putus asa. Menurut Sudarsono, sepuluh hari pertama ia berdagang menetap benar-benar waktu yang sulit. Ia hampir tak memperoleh pembeli. Namun, sebuah keberuntungan pada malam kesepuluh benar-benar mengubah nasibnya.

Ceritanya, malam itu ia sudah mengemasi dagangannya. “Saya sudah ndak tahan. Ndak ada pembeli,” kenangnya. Selesai mengemasi barangnya, Sudarsono bersiap mendorong gerobak. Saat itu ia berpikir bahwa malam itu adalah malam terakhirnya berjualan di Mataram. Ia sudah meniatkan untuk pulang kampung.

Namun, takdir rupanya telah menggariskan kesuksesan baginyanya. Tepat ketika ia hendak mengangkat sandaran gerobaknya, seorang pembeli datang dan memintanya membuatkan beberapa porsi mie goreng.
“Wajah bapak itu masih saya ingat sampai sekarang. Setelah bapak itu, pembeli terus datang sampai dagangan saya habis,” ujarnya dengan mata berbinar. Keesokan harinya, ia tak lagi kesulitan. Pembeli terus berdatangan. Momen di malam kesepuluh ia anggap sebagai mukjizat. Tak pernah ia lupa keberuntungan di saat yang tepat itu. (aan)

Artikel Lainnya